Tuesday, November 19, 2013

SEKILAS TENTANG ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN MASA REFORMASI

A.   ORDE LAMA (1950 – 1965 )
1.  Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dudkungan mayoritas dalam parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan.
Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a.    Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b.    Memajukan perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.
c.     Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d.    Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.
e.     Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih berada ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut. Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan antara presiden dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah berlaku sebelumnya, bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan parlemen. Secara berturut-turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal, presiden membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.
Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.

2.Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a.      Sistem politik Demokrasi Terpimpinat
Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini  yang memiliki program khusus yang berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat. Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS), pemebntukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN pertama. Pidato Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudu”Penemuan Kembali Revolusi Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .
    b.  Gerakan 30 September 1965
Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;
    Peristiwa G 30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa Tertinggi
 Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
 Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah organisasi      onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.

  c.  Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik
Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
   -     Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
-     Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
-     Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya menimbulakan pemberontakan. 
-     Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a .    Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b .    Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c .     Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
-     Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet
9(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai berikut ;
-       Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
-       Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret 1966          .
-       Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
-       Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat panglima angkatan bersenjata.
-       Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan semakin  bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967  DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.
-       Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
-       Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
-       Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden, presiden tidak dapat  menerima  konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
-       Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
6
-       Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
-       Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
-       Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.

B.    ORDE BARU
 1.  Lahirnya Orde Baru
Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30 September  timbullah reaksi  dari berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI ( Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ), dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari unsur PKI,dan turunkan harga-harga”

 2. Kebijakan Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki kekuasaan penuh mengendalikan kehidupan politik masa itu. Kebijakan politik yang diterapkan dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde Baru. Pemberangusan hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya, merupakan salah satu kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan tertentu saja. Menjelang dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah partai yang menjadi peserta, tidak sebanyak partai politik di tahun 1955. Dari hasil pemilu tersebut para wakil-wakil partai menduduki 360 kursi ditambah 100 kursi lagi yang anggota-anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga anggota DPR berjumlah 460 orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu-pemilu selanjutnya
tahun 1977,1982,1987,1992, hingga 1997 pemerintah menyederhanakan jumlah partai politik yang ada. Hal ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1975 . Partai Persatuan Pembangunan merupakan fusi dari partai-partai islam seperti NU, Parmusi, PSSI, dan PERTI. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia adalah fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo, hanya Golkar yang tidak mempunyai fusi partai manapun.

 3. Menguatnya Peran Negara dan Dampaknya
Pemegang pemerintahan di Orde Baru adalah kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan militer hampir di seluruh bidang pembangunan.
          Pada akhir tahu 90-an dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era reformasi terbuka kesempatan bagi rakyat untuk menentanng kekuasaan yang otoriter itu . operasi militer mengerikan yang selam 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan publikpun terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa, kemenangan mereka dapat tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh islam termasuk ormas-ormasnya simpatisan masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan ”yuridis, ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak marah, mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer tidak menyukai kebangkitan politik islam.
 4. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awalnyamuncul Orde Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Latar belakang munculnya tuntutan Soeharto agar mundur dari jabatannya atau yang menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.
-       Adanya krisis politik di mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat.
-       Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya krisis ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia namun Indonesialah yang merasakan dampak yang paling buruk. Hal ini disebabkan karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan monopoli ekonomi mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.
-       Adanya krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai menuntut reformasi mulai ditunggangi berbagai kepentingan individu dan kelompok.
-       Pelaksanaan hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kronologi jatuhnya pemerintahan Orde Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden melalui sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11  Maret 1998, ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan kondisi ekonomi bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang aksi mahasiswa silih berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi.
Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa)

 Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan
politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.

Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
  • UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
  • UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
  • UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
  • UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
  • UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.

Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan intelektual.


2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.


3. Krisis Ekonomi
Krisi moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar
negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.

Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.


4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.

Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung
DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.

Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana.


EmoticonEmoticon